Berdiskusi
terkait “Dakwah” pada Abad 21 saat ini dan mendatang, tentu banyak hal yang
harus kita bicarakan, mengingat dakwah saat ini cukup kompleks untuk di
diskursuskan secara koprehensif (luas dan lengkap). Karena dakwah saat ini
tidak bisa lagi di maknai secara mendasar, hanya cukup mengajak pada kebaikan
dan menjahui perkara yang munkar. Sebaliknya berbicara dakwah saat ini harus
menyesuaikan kondisi, situasi, dan realitas yang ada, agar dapat memenuhi dan
menjawab persoalaan-persoalan dakwah di era digitalisasi dan arus informasi
yang sangat deras sekali.
Problematika Dakwah di Era Arus
Informasi
Maka
dari itu, untuk menyinggung hal di atas kita harus meninjau kembali
problematika dakwah yang terjadi pada saat ini, sebagai pengantar tinjauan
aspek ontology dakwah. Yang pertama,
dakwah saat ini dapat kita lihat dari fenomena waktu, dimana laju aktifitas
dakwah menjadi sangat tinggi dikala memasuki bulan Ramadan, kita dapat
membedakan perbedaaan yang sangat signifikan terhadap aktifitas dakwah antara
bulan Ramadan dan di luar bulan ramadan.
Hal
tersebut terlihat dari banyak pertelevisian memberikan tayangan-tayangan yang
bernuansa islami, salah satunya kultum menjelang berbuka puasa. Bahkan beberapa
media televisi secara khusus membuat program pencarian bakat dalam bidang
dakwah. Katakanlah di televisi indosiar dengan nama program Akademi Sahur
Indonesia atau biasa di sebut AKSI Indosiar. Selain itu pula, fenomena artis
berjilbab dan fenomena artis menjadi pendakwah juga santer terlihat mengisi
program-program di media televisi.
Selain
fenomena di atas, terdapat pula fenomena yang terjadi di lingkungan pendidikan.
Seperti munculnya pesantren kilat, bimbingan rohani siswa atau ROHIS dan
sebagainya, hal tersebut hanya dapat kita jumpai di bulan ramadan saja. Yang kedua, aktifitas dakwah di lihat
dari fenomena tarif penceramah. fenomena da’i pasang tarif tersebut sempat menghebohkan
dunia entertaint kita.
Pada
tahun 2013 yang lalu, penceramah kondang Sholeh Mahmoed Nasution atau yang
sering di panggil ustadz Solmed, di beritakan
meminta tarif yang tinggi terhadap sebuah majlis taklim bernama Thariqul Jannah yang dipimpin Lifah
Khilafah.
Akibatnya majlis Thariqul Jannah membatalkan
undangannya terhadap ustad Solmed. Kejadian tersebut juga di anggap mencoreng
profesi pendakwah oleh habib Novel yang saat itu menjabat sebagai sekretaris
DPD Front Pembela Islam (FPI) DKI
Jakarta.
Selain
itu sekitar bulan april yang lalu kita juga dihebohkan oleh seorang artis,
penulis dan penyanyi, Ustadzah Oki Setiana Dewi. ia terlibat masalah dengan netizen yang mencoba membuat petisi di
laman petisi Global Change.org dengan
judul “Stop Tayangan Ustadzah Abal-abal Oki Setiana Dewi”.
Pembuat petisi tersebut menggugat pemberian gelar ustadzah yang disandangkan
pada pemain film Ketika Cinta Bertasbih tersebut.
Pasalnya
pembuat petisi menilai ustadzah Oki tidak kompeten dalam berdakwah, hal
tersebut dilihat dari pelafalan sebuah ayat-ayat suci Al-qur’an dan hadist nabi
Muhammad yang di bawakannya ketika berceramah. Dia juga di tuding oleh netizen bahwa kerap meminta fasilitas
khusus dan tarif yang tinggi dalam setiap undangan ceramah yang diterimanya.
Tentu hal ini membuat profesi pendakwah tercoreng.
Ajang Gozwu Al-Fikr
Dari
kedua masalah di atas nampaknya masih ada problem lagi yang cukup rumit terkait
aktifitas dakwah. Dimana tingginya animo dakwah saat ini secara sadar
mengantarkan pada pergesekan pemikiran-pemikiran yang di sertai ideologi
tertentu tentang islam. Faktanya perang pemikiran atau gozwu Al-fikr saat ini semakin meningkat, dan meningkatnya perang
pemikiran tersebut juga di sertai dengan banyaknya situs-situs islam yang
memfasilitasinya dalam menyampaikan ideologinya masing-masing.
Sebut saja Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), kelompok pengusung Khilafah ini didirikan oleh seseorang yang bernama Taqiyuddin An-Nabhani asal palestina
pada 1953. Kelompok ini
memperkenalkan dirinya sebagai perkumpulan politik , bukan perkumpulan spiritual (agama) atau perkumpulan ilmiah. Di Indonesia
kelompok ini si kenal dengan hibut
tahrir Indonesia (HTI).
Tak jarang dakwah yang di lakukan
HTI ini oleh sebagian besar organisasi keagamaan di Indonesia seperti NU menolak
keras gerakan yang dilakukan oleh HTI tersebut, karena di anggap sebagai
gerakan yang akan mengancam keutuhan Negara. Selain HTI muncul gerakan Jaringan
Islam Liberal (JIL) yang di pelopori oleh Ulil Absar Abdalla, dia adalah seorang tokoh cendekiawan muslim
sekaligus menantu Ulama’ besar di Indonesia yaitu Mustofa Bisri (Gus Mus).
JIL merupakan gerakan Intelektual
islam yang mencoba membangun paradigma baru mengenai islam, namun tak jauh
berbeda dengan HTI sering kali pemikiran-pemikiran kelompok ini di tentang
keras oleh masyarakat Indonesia karena di anggap menyimpang dari
prinsip-prinsip agama. Kedua hal di atas merupakan realita saat ini bahwa
“Dakwah” hanya sebagai ajang Gozwu
Al-Fikr.
Jika sudah begitu maka dakwah bukan lagi
menjadi solusi permasalahan ummat, justru menjadi tonggak permasalahan ummat di
Indonesia. Di Negara yang tengah memproklamirkan sebagai Negara dengan
toleransi yang tinggi dan sebagai kiblat Negara tertoleransi di dunia,
seharusnya permasalahan semacam itu dapat di hindari. Keadaan-Keadaan di atas
menggambarkan bahwa proses “Dakwah” Indonesia baik pelaku, maupun konten dakwah
masih jauh dari prinsip-prinsip dakwah.
Memperhatikan Kode Etik Dakwah
Maka
setidaknya untuk mengantisipasi hal di atas, pelaku dakwah harus memperhatikan
setidaknya enam kode etik dakwah yang telah di rumuskan oleh Ittihadul Muballighin (organisasi para
da’i) pada tahun 25-28 Juni 1996 yang saat itu di pimpin oleh KH.Syukron Ma’mun
dalam musyawarah Nasional yang ke-4,
Musyawarah tersebut menghasilkan enam kode etik dalam berdakwah.
Yang
pertama, “tidak memisahkan ucapan dengan perbuatan”.
Hal ini dimaksudkan agar kredibilitas seorang penda’i tetap terjaga, tujuannya
tidak lain agar dakwah berjalan sukses, suksesnya dakwah secara mendasar
tentunya dilihat dari factor penda’i. maka pelaku dakwah hendaknya tidak
berbicara dengan apa yang belum ia kerjakan.
Yang
kedua, “tidak melakukan toleransi agama”.
Yang dimaksud adalah tidak melakukan toleransi terhadap hal-hal yang menyangkut
persoalan Akidah dan Ibadah, hal ini karena sangat bertentangan dengan prinsip
agama islam itu sendiri, maka sebagai pelaku dakwah tentunya harus menghindari
hal-hal yang menyangkut ibadah dan akidah, karena pada dasarnya hal tersebut
sudah paten dan tidak dapat di bedah seperti apapun.
Yang
ketiga, “tidak mencerca sesembahan orang lain”,
prinsip ini harus benar-benar di pegang teguh oleh para pelaku dakwah, karena
dakwah hakikatnya tidak ada paksaan, selain itu sumber toleransi yang paling
prinsip dalam beragama adalah tidak mengejek, mengolok-olok sesembahan agama
lain, inilah hal yang sangat urgen bukan hanya dalam beragama akan tetapi
bernegara, bersosial dan semacamnya. Hal tersebut harus menjadi prinsip dasar
setiap individu muslim.
Yang
keempat, “tidak melakukan diskriminasi”,
hal ini menjadi sangat penting untuk di perhatikan, dalam proses dakwah,
pendakwah tidak di perkenankan membedakan antara yang kaya dengan yang miskin,
antara teman dan orang lain, dan sebagainya, karena dakwah harus di sampaikan
kepada seluruh ummat manusia tanpa memandang status atau derajat apapun. Dakwah
akan sukses karena disampaikan secara bijak sana tanpa memandang status undien.
Yang
kelima, “tidak memungut imbalan”,
berbicara imbalan pendakwah, tidak sama dengan berbicara imbalan para pekerja
dan semacamnya, karena “Dakwah” hakikatnya merupakan panggilah hati seorang
muslim untuk mengabdi pada Allah, maka sangat tidak etis seorang da’i meminta
imbalan atas apa yang ia sampaikan, cukuplah pahala Allah yang menjadi imbalan
terbaik pendakwah. Maka seharusnya pada pendakwah haruslah mempunyai pekerjaan
lain selain da’i, hal ini ditujukan agar pendakwah tidak terjebak dalam
belenggu profesinya sebagai da’i.
Yang
terakhir adalah, ‘tidak mengawani pelaku maksiat”,
selain karena menjaga kredibilitas pendakwah itu sendiri, hal tersebut
dimaksudkan agar terhindar dari fitnah yang mungkin saja terjadi, maka cara
lain yang bisa di sampaikan pada era ini adalah melakukan pendekatan
struktural. Hal tersebut sudah pernah di lakukan oleh dua orang da’i di
Surabaya dalam rangka menghapus lokalisasi terbesar di asia tenggara, tepatnya
di Dolly Surabaya.
KH. Khoiron Syu’aib dan Ust Sunarto seorang
pendakwah di jawa timur yang telah sukses menutup hampir seluruh
lokalisasi-lokalisasi yang ada di jawa timur, hal tersebut tidak lain karena
pendekatan kedua peda’i tersebut menggunakan pendekatan struktural. Yaitu
melibatkan pihak pemerintah. Pendekatan tersebut cukup berhasil dalam proses
dakwah yang di lakukan kedua da’i tersebut, hal ini dapat di jadikan referensi bagi
pendakwah di era sekarang dan masa depan.
Melakukan Perubahan Strategi Dakwah
Selain
enam kode etik dakwah di atas yang harus di perhatikan, maka dalam rangka
menunjang kesuksesan proses dakwah di era reformasi dan informasi ini, maka
tentu kita tidak bisa bertumpu hanya pada metode konvensional (ceramah). Karena
di era digitalisasi seperti sekarang ini, dimana arus informasi berjalan sangat
cepat tanpa memandang ruang dan waktu, maka mau tidak mau pendakwah haruslah
menguasai dunia teknologi dan mampu menguasai akses informasi yang serba cepat
ini.
Dengan kata lain berkembangnya
teknologi saat ini harus dijadikan peluang oleh para pendakwah sebagai
akomodasi content dakwah yang juga
harus menyebar keseluruh umat manusia. hal tersebut dalam rangka mengimbangi
informasi-informai yang juga telah menyebar dimana informasi tersebut tidak
mengandung muatan ajaran islam. Tentunya dengan adanya media sosial sebagai
akomodasi menyebarnya konten yang memuat ajaran islam, maka setiap da’i harus
mampu memuat konten yang sesuai dengan kebutuhan umat manusia.
Selain menyangkut muatan konten,
strategi selanjutnya yang juga harus di perhatikan adalah derasnya informasi
yang ada, segala informasi yang ada dapat dijadikan sebagai gambaran awal
tentang kebutuhan spiritual manusia, maka dari situ kita dapat menyesuaikan hal
apa yang akan kita di sampikan, misalkan saja beredar wacana pemerintah akan
mem-phk buruh pabrik secara besar-besaran.
Wacana tersebut dapat kita jadikan sebagai
suatu informasi tentang keadaan masyarakat Indonesia saat ini, dari informasi
tersebut kita dapat memberikan pencerahan pada masyarakat tentang bagimana
seharusnya masyarakat atau umat islam menyikapi wacana tersebut. Disitulah
peran pendakwah seharusnya datang sebagai sumber penyejuk permasalahan
masyarakat.
Melihat betapa besar dan beratnya
tantangan umat islam di era globalisasi saat ini, maka hal yang paling penting
yang harus di persiapkan oleh masing-masing diri umat islam pada era informasi,
adalah mempersiapkan umat islam pada penguasaan system jaringan informasi.
Karena adanya perubahan paradigmatik di segala aspek menyebabkan dakwah harus
dilakukan sesuai dengan tuntunan era informasi. Hal ini memang harus dilakukan
dan disertai dengan etos yang tinggi dalam berdakwah. Karena tanpa adanya
semangat yang tinggi misi dakwah tidak akan pernah sampai.
penulis : Lukman Alfarisi (tulisan ini pernah di ikut sertakan dalam lomba penulisan artikel se indonesia di Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada 30 Agustus 2016, dan berhasil meraih juara pertama.