Umat-umat Muslim mulai gembira kepastian ramadhan tiba. Semangat 23 raka’at-ku telah aku sipakan, jam 6 sore itu mataku mulai terganggu oleh seliweran ibu-ibu rumah tangga lalu-lalang di jalan kecil. Ya jalan kecil dimana pintu di sampingnya menembus ruang tamu sebuah keluarga. walau pintu itu Nampak akrab dengan lintasan para pemikul gerobak jualan. Aku tetap senang berada duduk di pintu itu, sembari merasakan lalu-lalang angin-angin yang lewat di depanku.
Oh ya aku ingat aku harus bergegas berjalan 500 Km ke utara dari pintu itu. Ya nampaknya disana sudah berdiri menghadap kiblat beberapa lansia. Aku lihat mereka lebih dari gembira berada disana. Sejenak aku berfikir, “bukankah aku harusnya lebih gembira dari pak tua itu?”, ah.. aku hiraukan saja bisikan di pikiranku itu…
Loh.. loh.. kok jadi begini, aku makin merasa kecewa dengan diriku. Ya tuhan, kenapa engkau hadapkan pandanganku dengan nenek yang berjalan pelan sembari memegang sajadah itu?, ah, sudahlah aku harus segera membasuh sebagian tubuhku untuk shalat.
Namun anehnya kenapa selama itu nenek itu selalu mengganggu pikiranku, Astaghfirullah, aku jadi teringat nenekku yang sudah setengah tahun tak aku jumpai. Mataku memaksaku untuk memercikkan airnya, namun aku berupaya untuk menahannya. Dan tak sia-sia aku mealakukannya.
Tiba-tiba aku mendengar imam tarawih membaca untaian do’a - do’a itu. Akupun merenung sejenak, dalam hatiku bertanya, ya tuhan apakah imam tarawihku mengabaikan beberapa rakaatmu?, tapi hamba-hambamu namppak tenang ya tuhan. Oh ya aku sadar, ini memang akhir dari tarawih. bahkan aku merasa tak ingat berapa rakaat aku abaikan tuhanku dengan mimpi dalam shalat itu.
Sesaat sebelum berdiri ibadah ganjil aku menoleh ke sampingku, sembari bertanya, bapak, apakah aku tadi meninggalkan shalatku?, jawabnya, “bukankan kamu tadi Nampak khusuk nak”. aku tersenyum, iya pak terimakasih. Aku sadar tuhan ragaku mungkin sedang beribadah kepadamu, tapi tidak dengan hatiku.
Perlahan aku mulai paham betapa sulitnya mengharmonikan hati, pikiran serta ragaku dalam tunduk mengabdi padanya. Ya aku mengerti sekarang. Ternyata benar setelahnya ku lihat para anak-anak kecil nan polosnya sembari mambawa buku berebut kedepan menghampiri imam. Aku lihatnya bocah-bocah itu walau nampak kelelahan namun wajahnya penuh gembira. Aku pun tersenyum, ya tuhan semoga para pendidik mereka engkau limpahkan rahmatmu kepadanya. Begitu mulia dan agungnya cara ia mendidik. Bahkan aku pun akui, gurunya juga guruku.
Karena aku tau bahwa untuk beribadah padamu aku harus menjadi anak kecil terlebih dahulu, ya seperti mereka yang selalu semangat. Terimakasih tuhan kau telah ingatkanku pada ibu-ibuku, 10 tahun aku bersama. Dan aku sadar ini adalah getaran hatinya rindu pada cucunya ini.
Ya aku akui tuhan seharusnya aku lebih semangat dari lansia-lansia itu. Bahkan tulang-tulang mudaku Nampak malu pada para renta yang sudah dulu hadir dalam rumahmu.
Tulisan ini juga di muat di araaita.com \ http://www.araaita.com/2016/06/aku-bermimpi-ketika-shalat_7.html?m=1#more