Jumat, 24 Juni 2016

Aku Bermimpi Ketika Shalat

Umat-umat Muslim mulai gembira kepastian ramadhan tiba. Semangat 23 raka’at-ku telah aku sipakan, jam 6 sore itu mataku mulai terganggu oleh seliweran ibu-ibu rumah tangga lalu-lalang di jalan kecil. Ya jalan kecil dimana pintu di sampingnya menembus ruang tamu sebuah keluarga. walau pintu itu Nampak akrab dengan lintasan para pemikul gerobak jualan. Aku tetap senang berada duduk di pintu itu, sembari merasakan lalu-lalang angin-angin yang lewat di depanku.
Oh ya aku ingat aku harus bergegas berjalan 500 Km ke utara dari pintu itu. Ya nampaknya disana sudah berdiri menghadap kiblat beberapa lansia. Aku lihat mereka lebih dari gembira berada disana. Sejenak aku berfikir, “bukankah aku harusnya lebih gembira dari pak tua itu?”, ah.. aku hiraukan saja bisikan di pikiranku itu…
Loh.. loh.. kok jadi begini, aku makin merasa kecewa dengan diriku. Ya tuhan, kenapa engkau hadapkan pandanganku dengan nenek yang berjalan pelan sembari memegang sajadah itu?, ah, sudahlah aku harus segera membasuh sebagian tubuhku untuk shalat.
Namun anehnya kenapa selama itu nenek itu selalu mengganggu pikiranku, Astaghfirullah, aku jadi teringat nenekku yang sudah setengah tahun tak aku jumpai. Mataku memaksaku untuk memercikkan airnya, namun aku berupaya untuk menahannya. Dan tak sia-sia aku mealakukannya.
Tiba-tiba aku mendengar imam tarawih membaca untaian do’a - do’a itu. Akupun merenung sejenak, dalam hatiku bertanya, ya tuhan apakah imam tarawihku mengabaikan beberapa rakaatmu?, tapi hamba-hambamu namppak tenang ya tuhan. Oh ya aku sadar, ini memang akhir dari tarawih. bahkan aku merasa tak ingat berapa rakaat aku abaikan tuhanku dengan mimpi dalam shalat itu.
Sesaat sebelum berdiri ibadah ganjil aku menoleh ke sampingku, sembari bertanya, bapak, apakah aku tadi meninggalkan shalatku?, jawabnya, “bukankan kamu tadi Nampak khusuk nak”. aku tersenyum, iya pak terimakasih. Aku sadar tuhan ragaku mungkin sedang beribadah kepadamu, tapi tidak dengan hatiku.
Perlahan aku mulai paham betapa sulitnya mengharmonikan hati, pikiran serta ragaku dalam tunduk mengabdi padanya. Ya aku mengerti sekarang. Ternyata benar setelahnya ku lihat para anak-anak kecil nan polosnya sembari mambawa buku berebut kedepan menghampiri imam. Aku lihatnya bocah-bocah itu walau nampak kelelahan namun wajahnya penuh gembira. Aku pun tersenyum,  ya tuhan semoga para pendidik mereka engkau limpahkan rahmatmu kepadanya. Begitu mulia dan agungnya cara ia mendidik. Bahkan aku pun akui, gurunya juga guruku.
Karena aku tau bahwa untuk beribadah padamu aku harus menjadi anak kecil terlebih dahulu, ya seperti mereka yang selalu semangat. Terimakasih tuhan kau telah ingatkanku pada ibu-ibuku, 10 tahun aku bersama. Dan aku sadar ini adalah getaran hatinya rindu pada cucunya ini.

Ya aku akui tuhan seharusnya aku lebih semangat dari lansia-lansia itu. Bahkan tulang-tulang mudaku Nampak malu pada para renta yang sudah dulu hadir dalam rumahmu. 

Tulisan ini juga di muat di araaita.com \ http://www.araaita.com/2016/06/aku-bermimpi-ketika-shalat_7.html?m=1#more

Hanya Ramadhan

Seribu bulan
Kau hadir setiap tahun
Kau hadir untuk yang beriman
Kau hadir dengan penuh keberkahan

Seribu bulan
Hanya ada di bulan Ramadhan
Bukan dari animasi kartun
Dan bukan pula dari kisah aladin
Melainkan dari kisah turunnya al qur'an

Dimana datangnya kebaikan
Dimana datangnya keberkahan
Dan dimana datangnya kerahmatan

Kamis, 23 Juni 2016

PEMBAKAR SEMANGAT BUKAN PENGHAMBAT

Oleh : Prof.  Dr.  Moh.  Ali Aziz M. Ag
Guru Besar Uin Sunan Ampel


فَقَٰتِلۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا تُكَلَّفُ إِلَّا نَفۡسَكَۚ وَحَرِّضِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ عَسَى ٱللَّهُ أَن يَكُفَّ بَأۡسَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْۚ وَٱللَّهُ أَشَدُّ بَأۡسٗا وَأَشَدُّ تَنكِيلٗا ٨٤
Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Kobarkanlah semangat para mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak serangan orang-orang yang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksaan(-Nya) (QS. An Nisa’ [04]:84).

            Untuk menjelaskan ayat ini, Anda harus mengaitkan dengan ayat sebelumnya, khususnya QS. An Nisa’ ayat 74: “Dan sungguh di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke medan perang). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata, "Sungguh Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut berperang bersama mereka.” Yang disebut dalam ayat 74 ini adalah penduduk Madinah yang bersikap dingin, bahkan secara terang-terangan menyatakan enggan memenuhi ajakan Nabi SAW ke medan perang Badar. Maka ayat ini turun untuk mengingatkan Nabi SAW agar tidak terpengaruh dengan sikap pasip mereka dan agar tetap berangkat perang sekalipun sendirian.  
            Betapa berat tugas dan tanggungjawab Nabi SAW. Ia tidak boleh mundur selangkahpun atau kehilangan semangat hanya karena ulah para pengecut. Sebab, tugas kepemimpinan dibebankan hanya kepada Nabi, bukan pada pundak orang lain. Menurut Ar Razi, ayat ini menunjukkan keperkasaan Nabi SAW, sebab andaikan tidak perkasa, tentu Allah SWT tidak menyuruh berangkat perang sendirian.
            Nabi SAW juga dikenal sebagai tauladan dan pembakar semangat para sahabat. Anda tentu ingat ucapan Nabi SAW yang terkenal untuk menyemangati tentara perang Uhud, ”Jika seorang Rasul telah mengenakan pakaian perang, pantang baginya menanggalkannya sebelum Allah SWT menentukan siapa yang menang di antara dua pasukan.”
            Ayat di atas juga ada kaitannya dengan QS. Ali Imran ayat 173 yang diturunkan Allah setelah perang Uhud. Pada saat itu, Abu Sufyan, tokoh pasukan kafir menantang Nabi untuk perang kembali tahun berikutnya. ”Baiklah, kita akan bertemu di medan Badar tahun depan insya-Allah,” jawab Nabi. Sebelum perang, Abu Sufyan menyuruh Nu’aim bin Mas’ud agar menakut-nakuti umat Islam bahwa 1.000 tentaranya siap menggilas mereka. Provokasi itu dilakukan Nu’aim dengan imbalan 10 ekor unta. Sebagian tentara muslim terpengaruh dan benar-benar menolak mengikuti Nabi. Melihat spirit para sahabat menurun, Nabi SAW bangkit membakar semangat mereka, ”Walladzi nafsi biyadihi (demi Allah yang menguasai diriku), saya akan tetap berangkat perang walaupun sendirian”. Nabi memanggil 70 pasukan yang setia dan berangkat ke perang Badar dengan membaca hasbunallah wani’mal wakil(cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah Pelindung Yang Terbaik).
Dalam Surat At Taubah ayat 40 disebutkan penyemangtan Nabi SAW kepada Abu Bakar r.a yang tinggal bersamanya di Gua Tsur selama 3 malam (1 Rabiul Awal tahun ke 53 dari kelahiran Nabi atau 24-09-622 M). Abu Bakar r.a ketakutan karena dari celah-celah gua, ia melihat kaki para algojo Mekah yang siap membunuh mereka berdua. Saat itulah, Nabi SAW menyemangati Abu Bakar r.a, “La tahzan innallaha ma’ana” (jangan cemas, sungguh Allah tetap bersama kita). 
Bagaimana cara Nabi SAW menyemangati 3.000 prajurit yang sedang membangun benteng dalam perang Khandaq melawan 10.000 pasukan kafir pimpinan Abu Sufyan? Atas usul Salman Al Farisi, mualaf berkebangsaan Persia, Nabi memutuskan membuat parit (khandaq) memanjang di sebelah selatan Madinah dari ujung barat sampai ke timur. Dalam penggalian selama 6 hari (Syawal 5 H/627 M) tersebut, beberapa tentara melapor kepada Nabi adanya batu besar. Jawaban Nabi SAW sangat mengagetkan,“Ana naaazil” (saya sendiri yang akan memecah batu itu). Muhammad bin ‘Allan As Shiddiqy menyebut ucapan Nabi itu sebagai targhiiban lil muslimin (penyemangat untuk kaum muslimin).
Benar, berangkatlah Rasulullah dengan perut yang terikat selendang berisikan batu untuk menahan lapar, karena sudah tiga hari tidak makan apapun. “Blaaar.” Pecahlah batu itu atas pukulan Nabi. Pada pukulan pertama, ada cahaya dari arah kota Syam (Syiria). Pada pukulan kedua, cahaya memancar dari arah Persia, dan pada pukulan terakhir, ada sinar dari arah Yaman. Semua cahaya itu menandakan ketiga kota itu akan segera dikuasai umat Islam.
Jabir bin Abdillah r.a tidak tega melihat Nabi (60 tahun) kelaparan. Ia minta ijin untuk pulang sebentar. ”Apa ada makanan di rumah?.” Istrinya menjawab, ”Hanya sedikit gandum dan seekor kambing.” Jabir lalu menyembelih kambing itu dan menumbuk gandum untuk menjadi adonan roti. Jabir berlari dan membisikkan sesuatu di telinga Nabi, ”Wahai Rasulullah, tersedia sedikit makanan untuk tuan dan 1 atau 2 orang.” Nabi lalu memintanya agar memberitahu istrinya agar tidak menurunkan panci dan mematikan tungku sebelum ia datang. Ternyata, Nabi datang dengan seribu orang. “Mengapa kamu tidak memberitahu persiapan makanan kami yang terbatas?,” kata istri setengah marah kepada sang suami. Nabi SAW pergi ke dapur dan memercikkan sedikit ludah ke dalam panci, mengambil masakan itu dan menyuguhkan sendiri kepada para sahabat, sampai semuanya kenyang. Baru setelah itu, Nabi SAW menyuruh istri Jabir bin Abdillah r.a untuk membagikan makanan sisanya untuk semua kaum muslimin. Inilah mukjizat Nabi, sekaligus ketauladanan, kerendahan hati dan penyemangatannya untuk umatnya  (Disarikan dari HR Al Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah r.a).
            Tahukah Anda, hanya 20 % ucapan orang yang membakar semangat. Sisanya (90%) mematikannya. Jika Anda memberi seseorang barang berharga, tapi ia tidak memiliki semangat, maka sisa-sialah pemberian itu. Sebaliknya, jika Anda tidak memiliki barang berharga untuk diberikan kepada anak Anda atau siapapun, Anda tidak perlu bersedih selama Anda mamberikan SEMANGAT kepadanya. 

Referensi: (1) Muhammad Hasan Al Hamshy, Qur’an Wa Bayan ‘Ma’a Asbabin Nuzul Lis Suyuthy, Darur Rasyid, Damaskus- Beirut, tt. (2) Hamka, Tafsir Al Azhar, Juz 5,Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, p. 179 (3) M. Qureish Shihab, Al Misbah Vol 2, Penerbit Lenterera Hati, Jakarta, 2012, p. 643 (4) Ensiklopedie Islam (5) Majalah Aula No.2 Februari 1999, p. 46 (6) Ahmad Hadi, Persinggahan Para Malaikat, Penerbit Mizan, Bandung 1993, p. 25-33 (7) Moh. Ali Aziz, Bersiul di Tengah Badai, UIN Sunan Ampel Press, Surabaya, cet. I, 2015. (8) As Shiddiqy, Muhammad bin ‘Allan, Dalilul Falihin, Darul Kutub Al Ilmiyah, Bairut Libanon, tt.  (9) Al Nawawy, Abu Zakariya, Yahya bin Syaraf, Riyadush Shalihin,  CV. Thoha Putra, Semarang, 1981.


Sumber : http://www.uinsby.ac.id/kolom/id/181/pembakar-semangat-bukan-penghambat

Senin, 20 Juni 2016

Sejarah Tempo




Suatu hari di tahun 1969, sekumpulan anak muda berangan-angan membuat sebuah majalah berita mingguan. Alhasil, terbitlah majalah berita mingguan bernama Ekspres. Di antara para pendiri dan pengelola awal, terdapat nama seperti Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Christianto Wibisono, dan Usamah. Namun, akibat perbedaan prinsip antara jajaran redaksi dan pihak pemilik modal utama, terjadilah perpecahan. Goenawan cs keluar dari Ekspres pada 1970.

Di sudut Jakarta yang lain, seorang Harjoko Trisnadi sedang mengalami masalah. Majalah Djaja, milik Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) , yang dikelolanya sejak 1962 macet terbit. Menghadapi kondisi tersebut, karyawan Djaja menulis surat kepada Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin, minta agar Djaja diswastakan dan dikelola Yayasan Jaya Raya-sebuah yayasan yang berada di bawah Pemerintah DKI. Lalu terjadi rembugan tripartite antara Yayasan Jaya Raya-yang dipimpin Ir. Ciputra-orang-orang bekas majalah Ekspres, dan orang-orang bekas majalah Djaja. Disepakatilah berdirinya majalah Tempo di bawah PT. Grafiti Pers sebagai penerbitnya.

Kenapa nama Tempo? Menurut Goenawan -Pemimpin Redaksi saat itu- karena kata ini mudah diucapkan, terutama oleh para pengecer. Cocok pula dengan sifat sebuah media berkala yang jarak terbitnya longgar, yakni mingguan. Mungkin juga karena dekat dengan nama majalah berita terbitan Amerika Serikat, Time-sekaligus sambil berolok-olok-yang sudah terkenal. Edisi perdana majalah Tempo terbit pada 6 Maret 1971.

Dengan rata-rata umur pengelola yang masih 20-an, Tempo tampil beda dan diterima masyarakat. Dengan mengedepakan peliputan berita yang jujur dan berimbang, serta tulisan yang disajikan dalam prosa yang menarik dan jenaka, Tempo diterima masyarakat.

Pada tahun 1982, untuk pertama kalinya Tempo dibredel. Tempo dianggap terlalu tajam mengkritik rezim Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar. Saat itu tengah dilangsungkan kampanye dan prosesi Pemilihan Umum. Tapi akhirnya Tempo diperbolehkan terbit kembali setelah menandatangani semacam "janji" di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu ( zaman Soeharto ada Departemen Penerangan yang fungsinya, antara lain mengontrol pers).

Makin sempurna mekanisme internal keredaksian Tempo, makin mengental semangat jurnalisme investigasinya. Maka makin tajam pula daya kritik Tempo terhadap pemerintahan Soeharto yang sudah sedemikian melumut. Puncaknya, pada 21 Juni 1994. Untuk kedua kalinya Tempo dibredel oleh pemerintah, melalui Menteri Penerangan Harmoko. Tempo dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal kapal bekas dari Jerman Timur.

Selepas Soeharto lengser pada Mei 1998, mereka yang pernah bekerja di Tempo -dan tercerai berai akibat bredel- berembuk ulang. Mereka bicara ihwal perlu-tidaknya majalah Tempo terbit kembali. Hasilnya, Tempo harus terbit kembali. Maka, sejak 12 Oktober 1998, majalah Tempo hadir kembali.

Untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi ke bisnis dunia media, maka pada tahun 2001, PT. Arsa Raya Perdana go public dan mengubah namanya menjadi PT Tempo Inti Media Tbk. (Perseroan) sebagai penerbit majalah Tempo -yang baru. Dana dari hasil go public dipakai untuk menerbitkan Koran Tempo yang berkompetisi di media harian.

Saat ini, produk-produk Tempo terus muncul dan memperkaya industry informasi korporat dari berbagai bidang, yaitu penerbitan ( majalah Tempo, Koran Tempo, Koran Tempo Makassar, Tempo English, Travelounge, Komunika, dan Aha! Aku Tahu), Digital (Tempo.co, Data dan Riset (Pusat Data dan Analisa Tempo), Percetakan (Temprint), Penyiaran (Tempo TV dan Tempo Channel), Industri Kreatif (Matair Rumah Kreatif), Event Organizer (Impressario dan Tempo Komunitas), Perdagangan (Temprint Inti Niaga), dan Building Management (Temprint Graha Delapan) 
Sumber : https://korporat.tempo.co/tentang/sejarah

Kamis, 16 Juni 2016

Revolusi Mental Puasa Ramadhan

Opini Jawa Pos
Oleh Ali Murtadlo*

PRESIDEN Jokowi sesungguhnya tidak perlu terlalu pusing mencari model pelatihan untuk revolusi mental yang hingga kini belum jelas benar juntrungannya itu. Allah telah menyediakannya: puasa Ramadan sebulan penuh.
Betapa tidak, puasa melatih kita tidak hanya untuk menahan lapar dan minum, tapi juga menahan marah, bergunjing, dan mengendalikan hati agar tidak berburuk sangka, mengontrol mata agar tidak jelalatan, menggembleng disiplin, persistensi, dan kesabaran yang dahsyat.
Perilaku korup, misalnya, bisa diberantas dengan puasa. Mereka yang berpuasa berlatih selama sebulan untuk tidak berlaku curang.
Minum di kamar, contohnya. Kalau mau, orang lain pasti tidak tahu karena kita melakukannya di kamar sendirian. Tapi, mengapa hal demikian tidak dilakukan? Karena tahu ada Tuhan yang menyaksikan. Itulah perilaku ihsan. Perilaku takwa, the ultimate goal dari puasa: la'allakum tattaquun, agar kalian bertakwa.
Tapi, dan tapi inilah yang justru masih terjadi dan sering jadi cibiran. Rajin puasa, rajin salat, haji berkali-kali, tapi maksiat jalan terus. STMJ namanya: salat tekun, maksiat jalan terus. Pasti salatnya tidak khusyuk, puasanya tidak beres, hajinya sekadar menambah gelar di depan nama.
Dalam banyak hal, perilaku ibadah kita memang belum tembus pada derajat substansi. Baru pokoke salat, pokoke poso, pokoke haji. Sekadar membatalkan kewajiban. Dan, rasanya, sudah tenang, sudah senang.
Seolah-olah tiket surga sudah di tangan. Padahal, sesungguhnya masih jauh sekali dari standar Allah. Apa standarnya? Harus mencapai derajat substansi. Salat, misalnya, harus memenuhi dua kriteria: khusyuk dan terjaga (Al-Mu'minun 2 dan 9).
Parameternya, salat kita harus mampu mencegah perilaku keji dan mungkar (Al-Ankabut 45). Dengan kata lain, jika secara fisik sebetulnya kita sudah salat tapi ternyata masih maksiat, maka salatnya pasti belum beres.
Sama halnya dengan puasa. Jika gemblengan sebulan penuh ini tidak menjadikan kita berperilaku sabar, lihai mengendalikan diri, ahli mengendalikan nafsu, perilaku lebih dermawan, maka puasa kita baru berada pada level menahan lapar dan haus.
Sesungguhnya apa hebatnya puasa Ramadan? Menjadikan pelakunya memiliki habit yang luar biasa bagus. Habit bangun pagi, habit sabar, habit kuat mengendalikan diri, habit bederma, habit jujur, dan habit disiplin.
Great habit inilah yang oleh penulis dan pembicara self development selalu direkomendasikan kepada siapa saja yang ingin hidupnya sukses, sehat, dan bahagia. Untuk sukses, harus mempunyai habit sukses. Agar sehat, harus mempunyai habit sehat. Untuk bahagia pun, harus mempunyai habit bahagia.
Sebab, tidak ada yang sukses tiba-tiba, sehat dadakan, atau bahagia instan. Semua perlu proses. Seminggu, sebulan, setahun, bahkan bertahun-tahun. Barang siapa ingin sukses, harus menikmati proses, begitu pula untuk sehat dan bahagia.
Membentuk great habit, kata pakar self development, rata-rata diperlukan waktu 15 sampai 30 hari. Charles Duhigg dalam bukunya, The Power of Habit, menyebut 21 hari. Jika puasa genap sebulan penuh, proses membentuk great habit ini sebetulnya sudah lebih dari cukup.
Puasa mengajari kita untuk menikmati proses itu. Bangun pukul 3 pagi, makan sahur, salat malam, lalu jamaah subuh di masjid, lalu pulang, menghirup udara segar, kemudian siap beraktivitas. Bukan tidur lagi.
Semua ada tantangannya: tantangan lapar, tantangan mata, tantangan nafsu, tantangan tidak mengurangi waktu kerja, termasuk yang sekarang ini, tantangan nonton Piala Eropa.
Semakin mendapat tantangan, semakin matang. Pada level manakah puasa kita kali ini? Jangan dijawab saat kita masih mengenakan sarung, baju koko, dan berkopiah. Dalam keadaan begitu, kita biasanya berada pada puncak alim-alimnya, taat-taatnya, dekat-dekatnya kepada Allah.
Tapi, mari kita mengevaluasi kualitas puasa kita saat kita sudah mengenakan baju kantor, saat mengemudi, saat belanja di mal, saat antre, saat mobil kita ditabrak orang, saat mengetahui ada ibu-ibu atau anak-anak sekolah mau menyeberang jalan. Kita pelankankah mobil, kita nyalakan lampu hazardkah agar yang di belakang ikut waspada? Jika kita sudah begitu, insya Allah puasa kita berada dalam level advance.
Ibu-ibu yang menyiapkan buka puasa juga bisa diuji level kepuasaannya dengan cara sederhana seperti ini: ayam yang baru digoreng dicaplok kucing. Reaksi kita kepada kucing tersebut juga bisa dijadikan ukuran level puasa kita. Apakah kita menggebuknya pakai sapu hingga kucing terkapar atau menersenyumi keteledoran kita.
Karena itu, hikmat saya, umat Islam tidak perlu pasang spanduk besar di mana-mana: Hormatilah Bulan Puasa. Umat Islam sudah waktunya memasang spanduk: Hormatilah Yang Tidak Puasa. Menunjukkan apa? Pribadi yang matang, bukan pribadi yang manja.
Lalu mengapa, selepas Ramadan, kita kembali bangun siang, kembali tidak jamaah subuh di masjid, kembali mulut kita tidak terkontrol, kembali tidak sabaran, kembali tidak jujur, kembali sulit disiplin, suka menyerobot karena tidak mau antre? Gampang sekali jawabnya: puasa kita belum berada pada level substansi, baru pada level menahan lapar dan haus. Nah, mari kita jawab pertanyaan ini: pada level apakah derajat puasa kita kali ini?

*) Bekerja di JP Booksb

Sumber : http://library.uinsby.ac.id/index.php/news-and-events/1228-revolusi-mental-puasa-ramadan

Menjerat Ring 1 Koruptor

Opini Jawa Pos

Oleh Kurnia Ramadhana*

MENURUT catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama 12 tahun terakhir tak satu pun pelaku tindak pidana pencucian uang (TPPU) pasif dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu membuktikan bahwa KPK tidak serius menerapkan pasal 5 UU No 8 Tahun 2010.
Jika membahas secara terperinci isi pasal tersebut, kita dapat menerima pesan bahwa tujuan pasal itu adalah menjerat kroni-kroni koruptor.
Kalau ditinjau dari proses terjadinya tindak pidana pencucian uang, ada tiga tahapan yang akan dilakukan pelaku korupsi. Pertama, tahap penempatan. Pada tahap itu, pelaku pencucian uang akan menempatkan uang hasil korupsi ke sistem keuangan suatu negara.
Kedua, tahap pelapisan. Pelaku pencucian uang bakal berusaha mentransfer uang hasil tindak pidana korupsi ke beberapa rekening untuk menyamarkan jejak agar tidak diketahui oleh aparat penegak hukum.
Ketiga, tahap integrasi. Tahapan itu menjadi akhir dari perjalanan uang-uang yang sudah disebar untuk disatukan kembali ke dalam keuangan milik pelaku pencucian uang. Sebenarnya titik inti jika ingin menjerat kroni-kroni koruptor ada di tahap kedua, yaitu pelapisan. Pada tahap itu seharusnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bisa langsung menemukan transaksi-transaksi yang mencurigakan untuk kemudian dilaporkan kepada aparat penegak hukum.
Harus diakui, memang dalam upaya pemberantasan korupsi, khususnya pencucian uang, KPK telah mengalami kemajuan yang signifikan setiap tahun. Sebut saja kasus M. Nazaruddin, Wa Ode Nurhayati, Djoko Susilo, Luthfi Hasan Ishaaq, dan Akil Mochtar. Mereka menjadi sederet nama yang telah dikenai UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sayang, pelaku pasif dari sekian banyak kasus tersebut belum tersentuh KPK.
Justru kepolisian yang harus diapresiasi terkait dengan penerapan pasal 5 UU No 8 Tahun 2010 tentang pelaku pasif pencucian uang. Dalam kasus artis Eddies Adelia, pihak kepolisian menyatakan telah menemukan aliran dana Rp 10 miliar yang ditransfer secara bertahap ke rekening Eddies dari rekening suaminya (Ferry Setiawan, tersangka kasus penipuan investasi batu bara) dan menetapkan Eddies sebagai tersangka TPPU.
Belum lagi jika kita berkaca pada penanganan kasus pencucian uang pasif di negara lain. Misalnya, di Yunani, sekitar Oktober 2013, pengadilan Athena menghukum mantan Menteri Pertahanan Akis Tsohatzopoulos dengan pidana penjara 20 tahun untuk kasus korupsi dan pencucian uang. Kasus korupsi Tsohatzopoulos berawal ketika terdapat kontrak pengadaan peralatan persenjataan dari Rusia dan Jerman.

Kekuatan Pasal 5 
Setidaknya ada tiga keuntungan jika KPK bisa menerapkan pasal 5 kepada pelaku pencucian uang. Pertama, upaya pengembalian aset negara bisa lebih maksimal. Beberapa kasus yang sedang ditangani KPK telah merugikan negara dalam jumlah yang banyak. Misalnya kasus M. Nazaruddin. Pertengahan Mei lalu kasus itu baru saja disidangkan dan jaksa KPK mengatakan bahwa Nazaruddin telah "mencuci" uang Rp 500 miliar dalam kurun 2010 sampai 2014. Jika dalam pengusutan kasus itu KPK bisa menerapkan pasal 5, akan banyak kroni Nazaruddin yang bisa dijerat.
Kedua, membangun budaya integritas di keluarga. Pelaku-pelaku tindak pidana pencucian uang sering kali dalam tahap pelapisan mentransfer dana-dana hasil korupsi kepada keluarga terdekat. Hal itu harus dijadikan momentum oleh KPK. Berhasilnya KPK menjerat keluarga koruptor akan menjadi "teguran" keras kepada keluarga-keluarga yang masih menikmati uang hasil tindak pidana pencucian uang.
Ketiga, membuat efek jera bagi koruptor. Penerapan pasal 5 itu setidaknya bisa menjadi teguran keras kepada para pelaku pencucian uang. Pelaku-pelaku tersebut bisa sadar akan akibat tindakannya, yakni bakal banyak orang yang awalnya tidak bersalah menjadi sasaran jerat hukum karena menjadi pelaku pasif pencucian uang.

Hilangnya Keberanian 
KPK sebagai sebuah lembaga yang dianggap paling berani dan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi harus lebih serius untuk menjerat kroni-kroni koruptor dalam kasus pencucian uang. Publik tentu tidak ingin melihat para penikmat dana haram pencucian uang masih beraktivitas seperti biasanya. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh KPK untuk memaksimalkan penggunaan pasal 5.
Pertama, KPK bisa membangun sinergi yang lebih kuat dengan PPATK dan penyedia jasa keuangan untuk membenahi sistem pengecekan transaksi keuangan yang mencurigakan agar bisa diikuti dengan tindakan represif untuk mengamankan uang tersebut.
Kedua, pola penanganan kasus tindak pidana pencucian uang harus dimaknai dengan pendekatan yang baru, bukan lagi follow the suspect, melainkan harus berubah menjadi follow the money. Sasaran utamanya adalah aliran uang. Produk kejahatan pencucian uang itu harus dijadikan sebagai subjek dalam hukum. Dengan begitu, penuntasan kasus pelaku aktif ataupun pasif pencucian uang dapat ditindak secara maksimal.
Ketiga, diperlukan komitmen yang kuat dari pimpinan serta penyidik KPK untuk berani menerapkan pasal 5 dalam setiap kasus pencucian uang. Tindak pidana korupsi adalah sebuah kejahatan yang terus mengikuti perkembangan zaman, telah dibuktikan dari kasus pencucian uang. Pola terstruktur dan sistematis dengan menggunakan media elektronik dalam sistem perbankan sering kali bisa mengelabui aparat penegak hukum. Diperlukan keberanian yang lebih dari jajaran KPK untuk bisa menjawab permasalahan penerapan pasal 5 itu.
UU TPPU menjadi paket penting untuk pemberantasan korupsi. Peraturan itu menjadi pintu masuk untuk upaya perampasan aset-aset gelap para koruptor. Meminjam kata-kata Mahatma Gandhi, "Jangan bekerja sama dengan kejahatan. Sebab, kewajiban kita adalah bekerja sama dengan kebaikan," rasanya tepat untuk orang-orang yang masih menikmati harta dari pelaku pencucian uang.

*) Kurnia Ramadhana, Divisi Fundraising Indonesia Corruption Watch (ICW) Jakarta

Sumber : http://library.uinsby.ac.id/index.php/news-and-events/1229-menjerat-ring-1-koruptor

Hiperealitas di Balik Penembakan Christina Grimmie

Opini Jawa Pos

Oleh Nadia Egalita*

PENYANYI yang ngetop lewat acara kontes The Voice, Christina Grimmie, ditembak setelah menggelar konser musik di Orlando, Amerika Serikat (10/6). Artis muda berusia 22 tahun itu ditembak seorang pria bersenjata di bagian kepalanya. Meski sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat dalam kondisi kritis, dia dinyatakan tewas keesokan harinya.
Kematian Christina Grimmie itu menambah daftar panjang selebriti yang menjadi korban penembakan penggemar atau orang lain yang memusuhinya. Meski tidak sespektakuler kematian pentolan The Beatles John Lennon yang juga tewas ditembak salah seorang penggemarnya, tetap saja tewasnya Grimmie menimbulkan kegaduhan dan menjadi viral di dunia maya.

Hiperealitas 
Bagi para penggemar, seorang idola tidak hanya dipuja, tetapi juga dijadikan sosok acuan dalam membangun identitas sosial. Seorang penggemar yang sudah telanjur keranjingan tidak hanya memasang gambar-gambar sang bintang di kamarnya dan sering menelusuri informasi tentang idolanya. Namun, dia juga membangun perasaan subjektif tentang kedekatan (semu) dirinya dengan sang idola.
Dalam pandangan teoretisi postmodern seperti Jean Baudrillard (1983), perilaku keranjingan dan kegandrungan para penggemar terhadap artis pujaan sesungguhnya adalah sebuah realitas yang bersifat artifisial atau superfisial. Sebuah hyperreality yang tercipta karena peran teknologi simulasi dan pencitraan yang mengambil alih dunia realitas yang alamiah.
Hiperealitas, menurut Baudrillard, merupakan model-model realitas yang tidak ada referensinya pada realitas. Hiperealitas tidak memiliki rujukan atau referensi pada realitas, sebagaimana umumnya dunia representasi atau pertandaan, melainkan merujuk pada dirinya sendiri (self-reference).
Seorang penggemar yang adiktif, dan memuja artis idolanya, dalam benak mereka yang timbul niscaya dua hal yang ambivalen. Pertama, mereka menjadi sosok penggemar yang tersimulakra. Sangat lekat dengan kehidupan artis idola dan memujanya hingga kelewat batas.
Apa pun yang dilakukan idolanya, penggemar akan meniru dan bahkan menjadikannya role model. Kedua, kelompok penggemar yang di satu sisi sangat mengidolakan artis kesukaannya, tetapi pada satu titik, ketika mereka merasa kecewa, yang timbul biasanya adalah fanatisme yang kebablasan. Atau bahkan kebencian yang benar-benar mendalam.
Dalam keseharian, ketika sang idola ternyata tidak membalas apa yang dirasakan penggemar, bukan tidak mungkin yang dilakukan penggemar itu kemudian adalah tindakan nekat. Menculik artis idola, bahkan membunuhnya, adalah salah satu bentuk ekspresi fanatisme penggemar yang tidak puas karena adanya kesenjangan antara realitas yang nyata (real) dan yang imajiner.

Ambivalensi 
Di masyarakat postmodern, ciri yang menandai masyarakat, selain makin luasnya penggunaan teknologi informasi, yang tak kalah penting adalah makin mengemukanya kebohongan dan distorsi. Realitas kehidupan artis, di mata para penggemar, dipahami seperti yang tersaji dalam media massa, televisi, film, atau sebagaimana diberitakan surat kabar. Karena itu, dalam konstruksi penggemar, sosok artis selalu dipahami dalam konteks yang ideal sesuai harapan.
Artinya, apa yang digambarkan dan diberitakan media tidak lagi mencerminkan realitas. Namun, ironisnya, justru realitas bentukan media itu dianggap sebagai realitas asli atau bahkan lebih nyata dari realitas itu sendiri. Di berbagai film, misalnya, sosok artis yang digemari biasanya akan tampil penuh pesona. Padahal, dalam dunia nyata, barangkali, sosok aslinya sama sekali tidak tergambar seperti peran yang mereka mainkan dalam film-film yang dibintangi.
Dalam kehidupan di era postmodern seperti sekarang ini, akibat yang terjadi adalah apa yang nyata (real) disubordinasikan dan akhirnya dilarutkan sama sekali sehingga mustahil membedakan yang nyata dan yang menjadi tontonan. Dalam kehidupan nyata, kejadian-kejadian ''nyata'' semakin mengambil ciri hiper-real. Karena itu, tidak ada lagi realitas, karena yang ada hanyalah hiper-realitas.
Pemikiran Baudrillard seperti di atas sesungguhnya bisa menjelaskan mengapa seorang penggemar yang kecewa kemudian tega menembak bintang idola karena merasa dikecewakan atau karena ingin dikenang sebagai pasangan yang setia sehidup-semati. Dengan menembak sang idola, dan kemudian pelaku juga menembak dirinya sendiri hingga sama-sama tewas, dalam pandangan penggemar yang sudah telanjur keranjingan, dianggap sebagai bentuk kesetiaan dan cinta sampai keduanya tidak lagi bernapas di dunia.
Dari segi hukum, tindakan penggemar yang fanatik seperti di atas tentu berbahaya dan bisa merugikan sang artis. Jadi, sudah sewajarnya jika aparat penegak hukum kemudian mengeluarkan surat perintah larangan bagi seorang penggemar yang fanatik berada di sekitar artis pujaan.
Tetapi, untuk memastikan sejauh mana tindakan penggemar dapat dibenarkan serta tidak membahayakan keselamatan dan kehidupan sang idola, selain pendekatan hukum, tak pelak yang dibutuhkan adalah pendekatan yang lebih persuasif. Terutama untuk mencegah agar tidak muncul penggemar-penggemar yang lupa diri, imitatif, dan kehilangan jati dirinya sebagai manusia.
Semoga daftar artis atau selebriti yang menjadi korban pembunuhan tidak lagi bertambah.

*) Lulusan Faculty of Art Monash University Australia, sekarang melanjutkan pendidikan ke program S-2 Communication and Media Studies Monash University Australia

Sumber : http://library.uinsby.ac.id/index.php/news-and-events/1230-hiperealitas-di-balik-penembakan-christina-grimmie

Merevolusi Mental Pemberantasan Terorisme

Opini Jawa Pos

Oleh Hasibullah Satrawi*

IBARAT manusia, ada penyakit yang sangat serius dalam upaya-upaya pemberantasan terorisme yang dilakukan selama ini di Indonesia. Yaitu penyakit "mental".
Dalam hemat penulis, penyakit itulah yang membuat pemberantasan terorisme selama ini gagal mencapai tujuan yang diharapkan: mencegah pengembangan jaringan terorisme, menyembuhkan mereka-mereka yang terpapar keyakinan yang bercorak teroristis, dan menyadarkan masyarakat luas terkait pentingnya perdamaian.
Penyakit mental dalam upaya pemberantasan terorisme dapat dilihat dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan. Berupa penindakan secara bersenjata, penegakan hukum dengan hukuman yang berat dan pencegahan, termasuk program pelatihan kewirausahaan ataupun penguatan ekonomi bagi mereka yang terpapar keyakinan terorisme.

Pendekatan Gagal 
Dilihat dari perkembangan yang ada, pendekatan-pendekatan seperti di atas telah gagal menyelesaikan persoalan terorisme. Penindakan secara bersenjata, contohnya, hanya mampu membunuh para teroris yang sudah ditarget maupun telah menampakkan diri di lokasi tertentu. Keyakinannnya (isme) dan para teroris lain yang bersembunyi atau belum ditarget tidak terbunuh oleh senjata aparat.
Kegagalan pendekatan penindakan secara bersenjata tak hanya terjadi di Indonesia. Keberadaan ISIS saat ini bisa dijadikan salah satu contoh. Mengingat ISIS berkembang setelah Amerika Serikat dan sekutunya menghancurkan Afghanistan yang dianggap menjadi sarang bagi jaringan Al Qaeda. Alih-alih terorisme selesai, kini justru muncul ISIS yang jauh lebih canggih dan sadis daripada Al Qaeda.
Pendekatan penegakan hukum dengan hukuman yang berat kurang lebih mengalami kegagalan serupa. Sebagian bahkan telah dihukum mati seperti trio pelaku bom Bali I.
Alih-alih jera karena hukuman yang berat, sebagian teroris yang sudah keluar dari penjara dengan seluruh hukuman yang diterima justru terlibat dalam penyerangan lain yang lebih brutal. Misalnya yang dilakukan para pelaku penyerangan di Jalan Thamrin, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kegagalan kurang lebih sama terjadi dalam pendekatan pencegahan. Secara teoretis, jaringan terorisme tidak akan terus berkembang bila tidak ada regenerasi atau pihak-pihak yang bermigrasi (atau hijrah dalam bahasa mereka) dari luar jaringan. Belakangan regenerasi jaringan terorisme justru menarget anak-anak muda yang masih aktif di bangku sekolah.
Pendekatan kewirausahaan maupun penguatan ekonomi bagi para teroris mengalami kegagalan kurang lebih sama. Dalam beberapa peristiwa, penguatan ekonomi justru dijadikan momentum untuk mengorganisasi kembali jaringan maupun kekuatan lama. Contohnya beberapa tokoh di balik peristiwa Komando Jihad pada 1962.

Revolusi Mental 
Karena itu, harus ada perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam upaya pemberantasan terorisme ke depan. Salah satunya dengan menghadirkan perspektif korban dalam upaya-upaya pemberantasan terorisme. Baik secara konseptual maupun implementatif.
Mengapa perspektif korban ini penting? Tak lain karena para korbanlah yang selama ini mengalami dan merasakan dampak langsung dari kejahatan terorisme. Bila suatu keahlian harus dibangun berdasar rasa dan pengalaman (kata tokoh-tokoh empirisme), sejatinya para korbanlah yang ahli tentang terorisme. Sebab, kata ahli tasawuf, man lam yazuq lam yasu'ur (orang yang tak pernah mencicipi tak akan pernah merasa).
"Rasa keahlian" para korban terkait terorisme sangat murni. Sebab, mereka menjadi ahli terorisme bukan karena tuntutan tugas seperti aparat atau tuntutan profesi seperti pengamat dan akademisi. Melainkan karena terpilih.
Dari segi hukum dan keamanan, apa yang dialami para korban terorisme merupakan bukti kegagalan negara dan aparat dalam melindungi segenap warganya.
Ketentuan perundangan-undangan maupun regulasi dapat dijadikan cermin untuk melihat sikap negara yang abai terhadap pemenuhan hak-hak dan peran korban terorisme. Sejauh ini hanya ada satu undang-undang (UU) yang secara tegas mengatur hak-hak korban terorisme, yaitu UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Padahal, banyak korban yang sudah menderita jauh tahun sebelumnya. UU itu pun belum diimplementasikan secara optimal dalam pemenuhan hak-hak korban.
Di luar UU 31/2014, sesungguhnya ada dua regulasi lain yang juga terkait dengan hak-hak korban terorisme. Yaitu UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpres 12/2012 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tapi, dua regulasi di atas selama ini nyaris tidak bermakna apa pun bagi pemenuhan hak-hak dan peran korban.
Saat ini pemerintah dan DPR mulai membahas draf revisi atas UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Revisi itu harus dijadikan momentum oleh semua pihak untuk menciptakan revolusi mental dalam upaya pemberantasan terorisme sesuai dengan visi Presiden Jokowi selama ini.
Dengan demikian, revisi tersebut tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat penindakan, penegakan, dan pemberatan hukuman yang selama ini kurang efektif dalam upaya penyelesaian terorisme. Revisi itu juga harus menyentuh hal-hal yang bersifat fundamental, termasuk pemenuhan hak-hak korban terorisme. Khususnya pemberian kompensasi secara mudah nan cepat dan jaminan negara atas seluruh pembiayaan medis korban pada masa-masa kritis sesaat setelah kejadian aksi terorisme.

*) Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida) Jakarta
Sumber :http://library.uinsby.ac.id/index.php/news-and-events/1231-merevolusi-mental-pemberantasan-terorisme

Penegakan Hukum Salah Kaprah terhadap PKL

Opini Jawa Pos

Oleh Hananto Widodo*

TINDAKAN Satpol PP Kota Serang menertibkan seorang pedagang kaki lima (PKL) dengan alasan warung tidak boleh buka di siang hari selama Ramadan adalah tindakan sewenang-wenang. Bahkan dapat dikatakan salah kaprah.
Ada argumentasi yang mendasari pernyataan bahwa tindakan satpol PP tersebut salah kaprah. Pertama, berkaitan dengan prosedur penertiban. Kedua, berkaitan dengan substansi. Berbicara mengenai penertiban sebuah warung, tentu harus mengikuti prosedur. Baik yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan maupun prosedur yang mengikuti logika hukum administrasi.
Dalam logika hukum administrasi, sebuah tindakan pemerintah yang mengandung sanksi terhadap masyarakat seperti penertiban PKL (pedagang kaki lima) tentu tidak bisa langsung dilakukan. Harus ada peringatan terlebih dahulu. Surat peringatan tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang, yakni wali kota.
Apabila PKL tersebut tidak mengindahkan peringatan itu, wali kota mengeluarkan surat peringatan kedua. Jika surat peringatan kedua tersebut juga tidak diindahkan oleh PKL, wali kota dapat memerintahkan kepada satpol PP untuk melakukan penertiban terhadap PKL yang tidak taat aturan larangan berjualan di siang hari saat Ramadan.
Penertiban oleh satpol PP tersebut tentu juga memiliki batas-batas. Satpol PP adalah aparat yang hanya melaksanakan mandat wali kota. Dengan demikian, satpol PP hanya boleh melakukan tindakan hukum administrasi.
Artinya, satpol PP tidak boleh melakukan tindakan yang menjurus ke penegakan hukum pidana. Sebagaimana kita ketahui dalam kasus di Serang itu, satpol PP telah melakukan penyitaan terhadap barang-barang dagangan.
Satpol PP secara hukum tidak berwenang menyita barang-barang dagangan si ibu pemilik warung. Mengapa? Sebab, barang-barang dagangan seperti gelas dan piring itu bukan hasil kejahatan. Jadi, tidak boleh disita.
Berbeda jika ada PKL yang menjual barang-barang bajakan, tentu bisa disita sebagai barang bukti. Sebab, barang bajakan tersebut merupakan hasil kejahatan. Itu pun, yang menyita bukan satpol PP, melainkan polisi.
Dengan demikian, tindakan langsung satpol PP terhadap pemilik warung jika tanpa didahului surat peringatan dari wali kota tentu dapat dikatakan sebagai bentuk kesewenang-wenangan. Apalagi, satpol PP telah bertindak di luar batas mandat yang diberikan oleh wali kota dengan menyita barang-barang dagangan pemilik warung.

Cacat Substansi 
Gubernur Banten Rano Karno menyayangkan sikap satpol PP di Serang yang dianggap terlalu keras terhadap pemilik warung yang beroperasi di siang hari saat Ramadan. Sikap Rano itu justru menunjukkan ketidakpahamannya terhadap aturan yang mendasari tindakan satpol PP. Bagaimanapun, satpol PP bertindak berdasar tugas dari wali kota karena kewenangan untuk melakukan penertiban ada di tangannya. Satpol PP hanya melaksanakan tugas dari orang nomor satu di pemerintahan Kota Serang tersebut.
Tentu ada dasar hukumnya wali kota memerintahkan satpol PP untuk menertibkan warung-warung yang berjualan di siang hari saat Ramadan. Yaitu, Perda No 2 Tahun 2010. Yang menjadi pertanyaan sekarang, kenapa perda tersebut justru bisa berlaku hingga sekarang? Padahal, perda itu adalah perda yang bisa digolongkan bermasalah?
Perda No 2 Tahun 2010 itu lahir pada masa berlakunya UU No 32 Tahun 2004. Dalam pasal 145 UU No 32 Tahun 2004, pemerintah diberi kewenangan untuk melakukan pembatalan terhadap perda yang diduga bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namun, perda bisa dibatalkan oleh pemerintah tujuh hari setelah perda tersebut ditetapkan dan disampaikan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.
Keputusan pembatalan perda ditetapkan dengan peraturan presiden paling lama 60 hari sejak diterimanya perda tersebut. Karena itu, jika dianggap bermasalah, seharusnya Perda No 2 Tahun 2010 dibatalkan oleh pemerintahan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono).
Sangat sulit sekarang ini melakukan pembatalan terhadap Perda No 2 Tahun 2010 melalui mekanisme executive review atau pembatalan oleh pemerintah pusat. Sebab, waktunya sudah kedaluwarsa. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah melakukan judicial review terhadap Perda No 2 Tahun 2010 ke Mahkamah Agung.
Adanya Perda No 2 Tahun 2010 tentu merupakan pelajaran bagi pemerintah sekarang agar lebih cermat dalam meneliti perda-perda yang dianggap bermasalah. Dengan begitu, ke depan keberadaan perda-perda seperti itu dapat lebih diminimalkan.
Apalagi dengan berlakunya UU No 23 Tahun 2014 yang menggantikan UU No 32 Tahun 2004, kewenangan pemerintah dalam melakukan pembatalan perda lebih kuat jika dibandingkan dengan sebelumnya.

*) Dosen hukum tata negara Jurusan Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya

Sumber : http://library.uinsby.ac.id/index.php/news-and-events/1232-penegakan-hukum-salah-kaprah-terhadap-pkl

Tumbuhnya Kartel Keadilan

Opini Jawa Pos

Oleh Imam Anshori Saleh*

DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia, kartel mempunyai dua pengertian. Pertama, organisasi perusahaan besar (negara dan sebagainya) yang memproduksi barang yang sejenis. Kedua, persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan harga komoditas tertentu. Dalam pengertian yang lebih sederhana, kartel adalah bentuk persekongkolan dari beberapa pihak yang bertujuan mengendalikan harga dan distribusi suatu barang untuk kepentingan (keuntungan) mereka sendiri.
Walaupun istilah milik dunia ekonomi itu tidak terlalu tepat untuk dibawa ke konteks hukum dan keadilan, kalau ada suatu kelompok yang dominan dalam mengatur peradilan di satu negara atau wilayah tertentu, tidaklah terlalu salah kalau praktik semacam itu bisa diartikan sebagai "kartel keadilan". Kondisi itulah yang sekarang dikhawatirkan terjadi di Indonesia.
Keadilan tersebut mestinya tidak hanya ditentukan oleh satu atau beberapa kelompok, melainkan dipastikan berjalan dengan mekanisme hukum itu sendiri. Dalam menentukan adil atau tidak, sudah ada pranata (hukum materiil) yang merupakan nilai-nilai universal, hasil kesepakatan, kearifan lokal, dan hasil penggalian oleh para hakim. Orang-orang atau kelompok orang juga menetapkan pranata itu untuk perkara yang konkret melalui mekanisme yang sudah disepakati pula (hukum acara).
Namun, dari yang kita baca di media massa, ada praktik-praktik di beberapa pengadilan di negeri ini di mana sejumlah hakim menjual vonisnya dengan tarif tertentu. Ada juga oknum-oknum di Mahkamah Agung (MA) yang dapat mengatur menang atau kalahnya orang yang beperkara di pengadilan, yang biasa dikenal dengan makelar kasus atau markus. Substansi hukum materiil pun terabaikan, meskipun hukum acara tetap berjalan dan tahapan penyelesaian perkara tetap sesuai dengan ketentuan undang-undang. Dengan kata lain, formalitas proses peradilan seolah normal, seolah tidak ada yang salah.
Dalam praktik kartel keadilan, lahirnya putusan hakim tidak lagi digali dari ketentuan hukum materiil. Vonis tidak lahir dari keyakinan hakim, melainkan karena "pesanan" pihak-pihak yang beperkara atau adanya intervensi pihak tertentu. Padahal, menurut teori hukum, dalam memutus suatu perkara pidana, hakim wajib menggali kebenaran materiil. Dalam hukum perdata, bukti-bukti atau kesaksian lemah milik pihak yang ingin dimenangkan hakim dengan mudah dikuatkan. Sebaliknya, bukti-bukti dan kesaksian sekuat apa pun milik pihak yang ingin dikalahkan dapat begitu saja diabaikan atau dilemahkan melalui putusan hakim.

Pencari Kemenangan 
Munculnya kartel keadilan bukan hasil kerja para hakim sendirian, melainkan karena godaan pihak-pihak yang beperkara di pengadilan. Mereka adalah pencari kemenangan, bukan pencari keadilan (justitiabelen). Kartel keadilan itu -seperti yang dikenal dalam dunia ekonomi- tercipta oleh bertemunya supply and demand. Pihak beperkara mengejar kemenangan dengan berbagai cara, sementara para oknum hakim melalui para perantara oknum di pengadilan menawarkan jasa dengan meminta imbalan tertentu.
Atas nama kebebasan hakim, terdakwa yang divonis tidak semestinya atau pihak yang dikalahkan oleh hakim padahal menurut konstruksi hukum seharusnya menang tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa melakukan upaya hukum dengan mengajukan banding atau kasasi. Walaupun beraroma ketidakadilan, pimpinan pengadilan, pengawas internal pengadilan, dan pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial pun tidak mampu berbuat banyak. Selain karena rapinya pengaturan permainan, juga selalu ada justifikasi melalui celah peraturan perundangan. Yakni, menyangkut putusan hakim, seorang hakim tidak dapat diintervensi oleh siapa pun dan institusi mana pun dengan alasan apa pun. Hakim hanya mempertanggungjawabkan putusannya kepada Tuhan. "Demi keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa" merupakan kalimat sakral tempat berlindung para hakim dari koreksi atau keberatan pihak lain.
Semua agama mengharuskan semua manusia, apalagi hakim, untuk adil. Dalam Alquran, para penguasa dan aparat penegak hukum, termasuk hakim, dititahkan untuk adil dan amanah. Tanpa dua sifat itu, aparat penegak hukum sulit untuk tidak terjebak pada kejahatan dan praktik kartel keadilan. "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil (QS An Nisa' [4]: 58)."
Adil dalam ayat itu, menurut cendekiawan muslim terkemuka Yusuf Al Qaradawi, berarti memahami kebenaran dan menetapkan perkara atas dasar kebenaran tersebut dengan jujur, adil, serta tanpa pandang bulu sesuai prinsip equality before the law. Sedangkan amanah memiliki makna bertanggung jawab, memegang teguh sumpah jabatan, profesional, serta menjunjung tinggi kemuliaan hakim dan lembaga peradilan.
Pendapat Qaradawi itu sesungguhnya senada dengan substansi butir-butir kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) yang ditetapkan Mahkamah Agung (MA) bersama Komisi Yudisial (KY) pada 2009. Sayang sekali, masih ada hakim yang menjadikan KEPPH sekadar hafalan, bukan standar moral ketika mereka bertugas mengadili dan memutus perkara. Mereka mengabaikan pengawasan melekat dari Tuhan, ditambah banyaknya godaan gelimang harta dari sebagian masyarakat kita yang beperkara ke pengadilan demi berburu kemenangan. Kondisi seperti itu diperburuk dengan tiga hal, yakni lemahnya manajemen perkara, tiadanya transparansi, dan pengawasan di lingkungan pengadilan yang masih terkesan kovensional.

*) Pengamat hukum dan peradilan, komisioner Komisi Yudisial periode 2010-2015

Sumber : http://library.uinsby.ac.id/index.php/news-and-events/1234-tumbuhnya-kartel-keadilan

Makna Potong Empat Angkatan Kapolri

Opini Jawa Post
Oleh Rohman Budijanto*

JOKO Widodo kali ini menunjukkan diri benar-benar sebagai presiden. Di luar spekulasi yang beredar, Komjen Pol Muhammad Tito Karnavian diajukan sebagai calon tunggal Kapolri. Lompat generasi dari Badrodin Haiti angkatan 1982 ke Tito yang angkatan 1987 juga merupakan kejutan; kejutan yang membesarkan hati. Tongkat komando Polri beralih ke orang terbaik saat Akpol: Badrodin maupun Tito sama-sama peraih bintang Adhimakayasa alias lulusan terbaik.
Diperkirakan, sosok yang pernah ''duet'' dengan Ahok saat menjabat Kapolda Metro Jaya itu akan mudah lolos di DPR. Sebab, tak ada suara keras terhadap Jokowi atas calon Kapolri. Selain itu, figur Tito relatif tidak pernah bersinggungan dengan nuansa politis. Karena itu, tak ada alasan kuat bagi DPR untuk menentang Tito.
Naiknya Tito memotong generasi yang cukup panjang, yakni melompati 1983-1986, adalah langkah yang cukup strategis. Generasi Polri dipimpin orang yang muda usia. Tito kelahiran 1964, baru akan pensiun pada 2022.
Jauh melampaui masa jabatan Jokowi yang akan berakhir pada 2019. Dengan masa kerja yang leluasa, setidaknya bisa dianggap sampai 2019, Tito wajib memenuhi harapan pembangunan postur Polri yang lebih bersahabat dengan rakyat. Dan, yang lebih penting, bersahabat dengan nilai-nilai integritas. Polri cukup piawai dalam kemampuan teknis membongkar perkara. Namun, sering dipertanyakan dalam keseriusan membersihkan dirinya.
Geger pencalonan Kapolri tahun lalu membawa pertanyaan besar kepada integritas. Pencalonan tunggal Komjen Pol Budi Gunawan (BG) memicu KPK menetapkan sang bintang tiga sebagai tersangka korupsi. Kita sudah tahu akhirnya.
Kasus BG berakhir di Bareskrim Polri setelah dia memenangkan praperadilan atas penetapan status tersangka. BG boleh dianggap ''berjasa'' karena memberikan preseden status tersangka dipraperadilankan. Dan kemudian Mahkamah Konstitusi membenarkan langkah itu.
Nama BG masih beredar dalam spekulasi munculnya cakapolri sebelum nama Tito melejit. BG dikaitkan dengan jejaring yang kuat di kalangan para perwira Polri. Namanya masih disebut pengamat dan anggota DPR.
Bahkan, ada yang menilai sang Wakapolri bisa langsung dilantik menjadi Kapolri karena tahun lalu sudah lulus fit and proper test di DPR. Spekulasi lanjutan berkembang dengan nama-nama alternatif para penyandang bintang senior yang dianggap dekat BG. Termasuk Komjen Pol Budi Waseso yang namanya berpendar-pendar setelah menjabat kepala Bareskrim Polri dan kini kepala Badan Narkotika Nasional (BNN).
Jokowi, rupanya, sudah mengalami ''evolusi mental''. Perlu lebih dari satu tahun, dengan menempatkan Badrodin Haiti sebagai Kapolri, yang sebenarnya masa pensiunnya hanya 17 bulan sejak dilantik April 2015.
Lazimnya, jabatan Kapolri minimal masih punya masa jabatan dua tahun saat mulai menjabat. Tetapi, keadaan ''darurat'' menaikkan posisi Badrodin ke puncak dari posisi Wakapolri. Sebagai Kapolri, kinerja Badrodin tidak mengecewakan, meski yang mengisi banyak jabatan penting di bawahnya dianggap lebih dekat ke BG, sang Wakapolri.
Naiknya Tito seperti permainan takdir yang menarik. Polri sedang diombang-ambingkan oleh isu klik dan angkatan. Tapi, yang muncul malah nama perwira tinggi muda ini. Dan, Tito seperti sudah ''menyiapkan diri'' jadi Kapolri.
Selama menjabat asisten perencanaan Bidang Umum dan Anggaran (Asrena) Polri dua tahun lalu, Tito membuat rencana strategis (renstra) Polri 2014-2019. Nah, karena menjadi Kapolri, Tito bisa ditagih atas pelaksanaan renstra yang ditulis saat dirinya menjabat itu.
Renstra tersebut setidaknya bisa dilihat dari delapan quick wins atau program cepat prioritas. Yakni, (1) Penertiban dan penegakan hukum bagi organisasi radikal dan anti-Pancasila. (2) Perburuan dan penangkapan jaringan terorisme. (3) Aksi nasional pembersihan preman dan premanisme. (4) Pembentukan dan pengefektifan satuan tugas operasi (satgas ops) Polri serta kontra-radikal dan deradikalisasi. (5) Pemberlakuan rekrutmen Polri yang terbuka dan bebas pungutan liar. (6) Polri sebagai penggerak revolusi mental dan pelopor tertib sosial di ruang publik. (7) Pembentukan tim internal antikorupsi. (8) Crash program pelayanan masyarakat serta pelayanan bersih dari percaloan.
Quick wins 1, 2, dan 4 terkesan ''Tito banget''. Tito kenyang pengalaman menghadapi radikalisme karena pernah menjadi kepala Densus 88 pertama saat dibentuk di Polda Metro. Timnya pernah menembak mati Dr Azhari dan Noordin M. Top.
Dia juga meraih PhD magna cum laude dalam Strategic Studies with interest on Terrorism and Islamist Radicalization di S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura. Terlebih, kini dia menjabat kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tak diragukan, Tito bakal keras terhadap radikalisme.
Yang perlu pembuktian cepat adalah pemberantasan pungli, korupsi, calo, serta pelayanan bersih. Singkatnya, Polri di bawah Tito perlu mempercepat penguatan antikorupsi internal dan eksernal yang pernah menonjol pada zaman Kapolri Sutanto.
Geger yang mengiringi pengangkatan Kapolri tahun lalu juga terkait dengan polemik korupsi. Untuk itu, pantas diingat langkah Abraham Samad dkk. Kita pantas berharap Tito juga keras terhadap korupsi yang tak kalah ''radikal'' pula. Apalagi kini KPK, tampaknya, sudah sulit diharapkan beraksi seperti zaman Abraham Samad dalam ''membantu'' Polri membersihkan diri.
Potong generasi empat angkatan dalam pengapolrian Tito ini perlu dimaknai sebagai upaya untuk membuat postur Polri yang berbeda. Yang lebih lincah, bebas sarat kepentingan jejaring ala gerbong urut kacang. Kalau kepemimpinan mantan Kapolda Papua ini berhasil membuat Polri yang lebih akuntabel, setidaknya ''lapor kehilangan sapi kembali kambing'', maka reformasi di tubuh Polri bisa berjalan lebih cepat. Apalagi Tito relatif sepi dari terpaan isu keraguan integritas.

*) Wartawan Jawa Pos (roy@jpip.or.id)

Sumber : http://library.uinsby.ac.id/index.php/news-and-events/1235-makna-potong-empat-angkatan-kapolri

Islam dan Indeks Bahagia


Opini Jawa Pos

Oleh Muhamad Mustaqim*

BEBERAPA waktu lalu Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) merilis indeks kebahagiaan dunia. Riset terhadap 157 negara itu sebenarnya sudah dimulai pada 2012 dan dirilis setiap tahun. Melalui The Sustainable Development Solutions Network (SDSN), diterbitkanlah laporan yang berjudul World Happiness Report 2016. Data tersebut menunjukkan bahwa negara paling bahagia adalah Denmark, disusul Swiss, Islandia, Norwegia, dan Finlandia. Kelimanya terletak di Benua Biru, Eropa.
Yang menarik, dalam sepuluh besar ranking teratas, tidak terdapat negara dengan basis Islam, baik dasar negaranya maupun mayoritas penduduknya. Jika dirunut ke bawah, kita baru akan menemukan Uni Emirat Arab di urutan ke-28 dan Arab Saudi di urutan ke-34. Di mana Indonesia? Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam terbesar harus puas di posisi ke-79.
Riset itu menggunakan enam indikator sebagai parameter kebahagiaan. Penyusunan dan pemilihan indikator tentu melalui pertimbangan dan metode ilmiah yang sudah tidak diragukan lagi. Pertama, gross domestic product (GDP) per capita atau pendapatan per kapita. Indikator itu merepresentasikan sektor ekonomi. Pendapatan per kapita digunakan untuk mengukur pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Rumusnya sederhana, pendapatan nasional dibagi jumlah penduduk.
Kedua, social support atau dukungan sosial. Indikator itu merepresentasikan aspek lingkungan sosial dalam memberi ruang bagi individu untuk mengaktualisasikan diri. Lingkungan dalam berbagai teori sangat memengaruhi perilaku dan karakter individu. Dengan adanya sistem sosial yang mendukung seseorang untuk bahagia, individu akan mengarah ke sana.
Ketiga, harapan hidup. Bangsa yang bahagia tentu saja mempunyai harapan hidup yang tinggi. Secara mudah, harapan hidup itu menegasikan beberapa problem anomali kehidupan, mulai stres, frustrasi, depresi, sampai bunuh diri.
Keempat, kebebasan memilih. Itu merupakan aspek politik. Kebebasan politik sebenarnya tidak hanya dimaknai dalam pemilihan suara, melainkan lebih luas sebagai kebebasan untuk menentukan nasib sendiri. Semakin otoriter suatu negara, tingkat kebebasannya semakin kecil. Ketika seseorang merasa bebas menentukan nasibnya, di situlah kebahagiaan berawal.
Kelima, kemurahan hati. Indikator itu mencerminkan nilai kemanusiaan yang dimiliki oleh penduduk suatu negara. Bagaimana paradigma kasih sayang tersebut digunakan dalam kolektivitas bermasyarakat. Budaya tepa salira, gotong royong, kohesi sosial, barangkali mewakili nilai kemanusiaan itu.
Keenam, persepsi korupsi. Semakin tinggi indeks korupsi suatu negara, semakin rendah kadar kebahagiaan penduduknya.
Semua indikator itu tentu saja tidak bisa merepresentasikan tingkat kebahagiaan secara sempurna. Namun, secara metodologis setidaknya menjadi pembenar sebelum diruntuhkan (baca: falsifikasi) oleh metode lain yang lebih absah.

Prinsip Kebahagiaan dan Islam
"Saya melihat Islam di Barat, tapi tidak menemukan kaum muslim di sana. Sebaliknya, saya menemukan kaum muslim di Timur, tapi tidak melihat ada Islam di sana." Begitu ungkapan populer dari tokoh pembaru Islam Muhammad Abduh. Dalam istilah lain, al Islam mahjubun bi al muslimin, kebesaran Islam itu tertutup oleh para penganutnya.
Dalam kaitannya dengan indeks kebahagiaan, teks agama Islam sangat relevan dengan enam indikator tersebut. Dalam sektor ekonomi, misalnya. Konsepsi zakat sekiranya cukup menjadi contoh bagaimana distribusi ekonomi yang adil akan mampu membangun kesejahteraan. Dan hal ini tentu saja berpengaruh besar terhadap GDP per kapita.
Sistem zakat terbukti pernah meningkatkan kemakmuran, yakni pada era khalifah Abbasiyah Harun Al Rasyid. Saat itu kesadaran zakat telah menjadikan baitul mal menumpuk. Tidak ada lagi orang yang mau menjadi mustahik. Setiap orang merasa cukup sehingga harus memosisikan diri sebagai muzaki.
Dalam hal kemanusiaan dan sosial, Islam pun sangat peduli akan nilai-nilai persamaan dan persaudaraan. Barang siapa menolong saudaranya, Allah akan menolongnya. Senyum kepada orang lain adalah sedekah. Allah melaknat orang yang perutnya kenyang, sementara tetangganya kelaparan. Tidak dianggap beriman orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangganya.
Dalam hal penegakan hukum dan antikorupsi, Islam juga sangat tegas. Untuk pencuri, potong tangan -meskipun tidak cukup dimaknai secara tekstual. Untuk al rasyi (penyuap) wal murtasyi (dan yang disuap), keduanya fi al nar (di neraka).
Secara normatif, ajaran Islam mendukung pencapaian umatnya untuk bahagia. Hanya, secara aplikatif, dibutuhkan sistem yang mampu memapankan implementasinya. Realitasnya, berapa banyak negara berbasis Islam yang terjerembap pada persoalan korupsi, arogansi dan otoritarian, konflik saudara, serta kemiskinan dan keterbelakangan -yang semua itu menghambat indikator kebahagiaan?
Meskipun pada dasarnya kebahagiaan merupakan persoalan batin, di mana setiap individu mempunyai pengalaman bahagia masing-masing, dalam dunia yang positivistik seperti saat ini tentu saja ukuran-ukuran kuantitatif, statistik, dan angka sangat relevan untuk menilai secara agregat. Terlepas dari itu, bisa saja umat Islam berapologi bahwa kebahagiaan hakiki hanya dapat dicapai di akhirat kelak, melalui surga-Nya.

*) Dosen STAIN Kudus, bergiat di kajian Tasamuh Institute
http://library.uinsby.ac.id/index.php/news-and-events/1233-islam-dan-indeks-bahagia
Sumber : 

Selasa, 14 Juni 2016

FEATURE: Tragedi Mei 1998, Mereka yang Setia Merawat Ingatan

TEMPO.COJakarta - Abdul Rahman tak pernah tahu di mana letak kubur adiknya, Iwan Santoso di pemakaman masal korban tragedi Mei 1998, Taman Pemakaman Umum Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Tapi tiap tahun Abdul selalu menyambangi makam itu.

Seperti yang dilakukannya pada Sabtu, 14 Mei 2016 kemarin. Rahman menatap barisan makam yang ada di depannya. Hampir seratusan makam bernisan tanpa nama. Namun Rahman tetap khusuk berdoa.

Kenangan Rahman melayang pada 14 Mei 1998 silam. Sang adik, Iwan Santoso yang saat itu berusia 20 tahun, ikut menjadi korban saat Yogya Plaza (saat ini Citra Mall Klender), Jakarta Timur terbakar. Mal itu jadi sasaran massa yang menyerbu masuk untuk mengambil barang-barang di dalamnya.

Namun kondisi berubah menjadi horor setelah api melalap mal tersebut. Sekitar 400 orang terjebak di dalam mal itu. Mereka kemudian ditemukan tewas dengan tubuh terpanggang.


Para korban yang tak dikenali identitasnya kemudian dimakamkan secara massal di Pondok Ranggon. Nisan mereka hanya bertuliskan Korban Tragedi 13-15 Mei 1998 Jakarta.

Meski tak pernah mengetahui di mana kubur Iwan. Abdul Rahman termasuk yang setia mendatangi pemakaman ini tiap peringatan Mei tiba. Namun pria 58 tahun itu mengakui, peringatan tahun ini tak seperti tahun-tahun sebelumnya. "Jumlah kami tak sebanyak dulu," ujar ia.

Ia mengenang dulu para peziarah kerap memenuhi pekuburan itu. Setidaknya ada 200-an orang yang berziarah tiap Mei. Tapi kemarin, hanya 32 orang yang datang. "Sekarang bisa dihitung paling banyak keluarga korban 20 orang," kata Abdul Rahman.

Setelah peristiwa kelam 1998 itu Abdul bercerita para keluarga korban membentuk Tim Relawan Kemanusiaan. Mereka lalu bersama-sama berjuang meminta pemerintah mengungkap kebenaran kasus ini. Mereka juga mendirikan koperasi untuk memulihkan perekonomian setelah ditinggalkan keluarga yang menjadi tulang punggung.

Setelah 18 tahun peristiwa itu, jumlah keluarga korban yang bertahan di perkumpulan itu semakin berkurang. "Karena pada putus asa. Saya sendiri juga sebenarnya gak banyak menuntut lagi," kata Rahman. Ia menyatakan bahwa orang-orang yang meninggal dalam tragedi itu adalah korban politik. Ia sendiri baru menyadarinya beberapa tahun kemudian, setelah terlibat dengan komunitas dan memahami sejarah kelam itu.

Permintaan korban sederhana. Mereka meminta pemerintah menjelaskan soal peristiwa itu dengan terang. Mereka juga ingin memperbaiki nama baik korban yang meninggal. Sebab, warga yang wafat itu diberi cap sebagai penjarah.

Sejak era presiden BJ Habibie, keluarga korban terus mendesak agar informasi tentang kasus ini diusut. Menurut istri Rahman, Herwin Wahyuningsih, Habibie sempat membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) 1998. Namun masyarakat belum puas.

Setiap presiden berganti, mereka menuntut hal serupa. Termasuk meminta pemerintah menghilangkan stigma "penjarah" bagi korban jiwa. "Tetapi kami pernah demo di istana, digebuk," kata Rahman. Tak cuma kepada presiden, kata Rahman, warga juga menuntut ke Dewan Perwakilan Rakyat.

Ruyati Darwin, 70 tahun, ibu dari korban Eten Karyana, mengatakan peringatan tragedi 98 tiap tahun ini bukan menggali luka. "Tapi bisa menjadikan semangat perjuangan bagi kami," katanya. Sayangnya, kata dia, pemerintah belum merespons para keluarga korban. "Padahal Presiden Jokowi sudah berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM, termasuk Mei 98."

Ruyati mengatakan kegiatan rutin ini juga berguna untuk mengingat para korban yang meninggal. Wanita yang tinggal di Kelurahan Penggilingan, Jakarta Timur ini mengetahui anaknya ikut terbakar di mal lewat siaran televisi. "Dompet dan KTP-nya yang tidak terbakar ditemukan," katanya.

Ketika suami Ruyati, Darwin, mencari mayat Eten, kemeja menjadi penanda. "Dipakainya baju kesayangan bapaknya," kata Ruyati. Baju lengan panjang putih garis-garis kecil itu juga sangat disukai Eten.

REZKI ALVIONITASARI

Sumber: https://m.tempo.co/read/news/2016/05/15/083771029/feature-tragedi-mei-1998-mereka-yang-setia-merawat-ingatan